Sabtu, 28 Oktober 2017

Komunikasi Internasional Dalam Perspektif Diplomatik (Indonesia Dituding Melanggar HAM di Papua dan Papua Barat Dalam Forum PBB di New York pada 20-29 September 2017)

1.              Latar Belakang K omunikasi internasional adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah atau negara dengan... thumbnail 1 summary


1.             Latar Belakang
Komunikasi internasional adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah atau negara dengan pemerintah atau negara lain melalui saluran diplomatik. Jalur diplomatik lebih kerap ditempuh melalui komunikasi langsung antara pejabat tinggi negara (menteri luar negeri, duta besar, konsul jendral atau staf diplomatik lainnya). (M. Shoelhi, 2009: 31).
Diplomasi lazimnya dilakukan secara ekslusif dalam komunikasi kelompok kecil antarpejabat tinggi negara atau melalui perwakilan diplomatik dan konsuler masing-masing negara atau melalui mekanisme komunikasi PBB serta organisasi internasional seperti ASEAN, Uni Eropa APEC, OIC, WTO, OEDC, UNECSO dan sebagainya. Diplomasi merupakan kajian keilmuan dari Hubungan Internasional digunakan sebagai salah satu inisiatif mempromosikan negara, meningkatkan eksistensi, atau menyebarkan pengaruh ke negara lain untuk meraih kepentingan nasional bagi masing-masing negara. Diplomasi adalah salah satu alat utama yang digunakan negara dalam pelaksanaan politik luar negeri dan pencapaian kepentingan nasional yang kemudian bisa menjadi nilai tawar atau state branding sebuah negara sehingga juga dapat membangun citra atau image dari sebuah negara.
Politik luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negara. Fungsi utama diplomasi adalah melindungi dan memajukan kepentingan nasional. Untuk itu, setiap bangsa harus menentukan sendiri sikapnya terhadap bangsa lain dan juga harus menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan internasional. Menurut Sumaryo Suryokusumo, Diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ lainnya.
Salah satu pelaku dalam pelaksanaan diplomasi adalah diplomat. Fungsi utama diplomat adalah mewakili negara pengirim di negara penerima, dalam organisasi-organisai dan forum-forum internasional. Para diplomat dengan menggunakan daya tarik dan keahliannya dalam melakukan advokasi guna mempengaruhi para pengambil keputusan di negara penerima dan terhadap diplomat lainnya sehingga pendekatan dapat dicapai guna membantu peningkatan hubungan antarnegara pengirim dan negara penerima.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi PBB dipandu oleh tujuan dan prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.
Kekuasaan berada di tangan aturan bersama dan karakter internasional yang unik, PBB dapat mengambil tindakan pada isu-isu yang dihadapi umat manusia di abad ke-21, seperti perdamaian dan keamanan, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, hak asasi manusia, perlucutan senjata, terorisme, kemanusiaan dan keadaan darurat kesehatan, kesetaraan gender, tata kelola, produksi pangan, dan banyak lagi.
PBB juga menyediakan forum bagi para anggotanya untuk mengekspresikan pandangan mereka di Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, dan badan-badan lainnya dan komite. Dengan mengaktifkan dialog antara anggotanya, dan dengan hosting negosiasi, Organisasi telah menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk menemukan bidang perjanjian dan memecahkan masalah bersama-sama. Kepala Administrasi Petugas PBB adalah Sekretaris-Jenderal.
Hak asasi manusia internasional di tetapkan dan dikembangkan melalui kerjasama multilateral di PBB, Dewan Eropa dan organisasi internasional lainnya. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk melalui berbagai konvensi hak asasi manusia, bersama mekanisme pemantauan internasional yang penting dan merupakan tambahan kegiatan pelaksanaan yang dilakukan di tingkat nasional.
Pengaturan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia dilandasi adanya pemahaman dan kesadaran bangsa Indonesia bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan dianugerahi hak asasi untuk dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan, bersifat kodrati dan universal, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warga kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, bahasa, dan status lain.
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia (dan hak warga negara) pertama-tama diatur dalam hukum tertinggi berupa Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, mengenai persamaan dalam hukum dan pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara, berhak mendapat pengajaran, berhak memajukan kebudayaan, berhak atas kemakmuran, serta fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Komunikasi internasional dalam perspektif diplomatik merupakan kegiatan atau upaya untuk membina rasa saling percaya atau memperteguh keyakinan terhadap suatu gagasan. Dengan menggunakan saluran-saluran diplomatik, komunikasi internasional lebih banyak digunakan untuk memperluas pengaruh, meningkatkan komitmen dan solidaritas, menanggulangi perbedaan pendapat dan salah paham, serta menghindari pertentangan dalam masalah tujuan dan kepentingan yang dikehendaki sebuah negara. Selain untuk menghindari konflik, tujuan komunikasi internasional sering digunakan untuk mengembangkan kerja sama baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, memperkuat posisi tawar (bargaining position) serta meningkatkan citra dan reputasi suatu negara. Tetapi hal tersebut tidak dirasakan Indonesia yang merupakan anggota PBB sejak 1950. Indonesia kerap difitnah dan dituding berbagai melakukan kejahatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Jika kita kilas balik pada berbagai kasus yang merugikan Indonesia, pertama wilayah Timor Leste memilih berpisah dan menyatakan merdeka dibawah pemerintahan sementara yang dijalankan PBB United Nations Transition in East Timor (UNTAET), kedua kasus Ambalat dan beberapa pulau lainnya yang dilahap oleh negara tetangga, ketiga kasus OPM, GAM dan RMS yang dimana organisasi-organisasi tersebut mendapat perlindungan secara khusus dari pihak Amerika dan sekutunya yang memiliki hal veto dengan mengatasnamakan HAM, padahal jelas organisasi tersebut bermaksud mempecah-belah dan memisahkan diri dari NKRI.
Enam negara dari Pasifik mengangkat persoalan HAM di Papua dan Papua Barat. Mereka juga meminta perhatian negara-negara anggota PBB pada “self determinasi” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari HAM serta menyoroti “The Act Of Free Choice” tahun 1969. Indonesia dituding telah melanggar HAM yang mengakibatkan 500.000 orang Papua dan Papua Barat tewas dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir dalam forum PBB di New York pada 20-29 September 2016.

2.             Kegiatan Forum PBB
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis, suku, ras, dan agama adapun agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Kong hu chu. Islam merupakan agama mayoritas, ada sekitar delapan puluh tujuh persen muslim di berbagai suku.
Di dalam Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 warga negara Indonesia berhak mendapatkan persamaan dalam hukum dan pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara, berhak mendapat pengajaran, berhak memajukan kebudayaan, berhak atas kemakmuran, serta fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Dalam sidang Majelis Umum PBB di New York pada 20-29 September 2016 yang lalu, Indonesia dituding telah melanggar HAM. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sovagare, Presiden Republik Kepulauan Marshall, Hilde Heine, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga, Perdana Menteri Republik Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, Perwakilan Tetap Palau, Caleb Otto dan Presiden Republik Nauru, Baron Divavesi Waqa.
Presiden Republik Kepulauan Marshall, Hilde Heine mengatakan Pentingnya HAM bagi negaranya, dirinya meminta Dewan HAM PBB memulai penyelidikan yang kredibel dan independen terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua Barat. Perdana Menteri Kepulauan Solomon mengatakan prihatin atas pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat, provinsi di Indonesia sebagai Ketua Malanesian Spearhead Group (MSG) termasuk Indonesia sebagai Associate Member dan United Liberation movement of West Papua. Kepulauan Solomon menegaskan akan adanya kebutuhan akan keterlibatan untuk mengatasi pelanggaran HAM di West Papua konstruktif dengan Indonesia dan berharap bisa bekerja sama dengan Indonesia.
            Kemudian Perdana Menteri Tuvalu mengatakan dengan tegas PBB yang besar ini tidak dapat dan tidak bisa terus menerus diabaikan badan ini harus memperhitungkan dan tidak boleh bersembunyi di balik topeng dan kedaulatan sebagai alat untuk tidak bertindak. PBB harus bertindak terkait isu ini dan mencari solusi yang bisa dikerjakan untuk memberi otonomi bagi masyarakat asli West Papua.
PM Republik Vanuatu berseru menjelaskan dan mengatakan Dekolonisasi masih menjadi masalah besar yang membutuhkan upaya bersama. Dalam rangka mewujudkan hak menentukan nasib sendiri. Sebagai suatu klenyataan seperti yang telah dimandatkan Piagam PBB. Kita harus tunjukan solidaritas dan komitmen kita untuk menghapuskan kolonialisme dalam segala bentuknya. Referendum yang akan segera dilaksanakan memberikan hasil yang adil, transparan dan menenangkan. Oleh karena itu rakyat Kaledonia diharapkan dapat memilih dengan bebas masa depan dan nasibnya sendiri. Persoalan HAM adalah agenda tertinggi PBB. Untuk mendesak kata-kata ini menjadi tindakan nyata. Masalah HAM di West Papua masih belum teratasi. Saya ingin sekali lagi menegaskan di sini seperti para pendahulu saya, untuk mendesak PBB mengambil tindakan kongkrit untuk persoalan ini. Seperti kolega saya sudah katakan untuk mendukung advokasi West Papua. PBB hendaknya tidak menutup mata pada kasus-kasus pelanggaran HAM di West Papua. Rakyat di sana sudah meminta dukungan PBB dan mencari terang pengharapan sebuah harapan untuk kebebasan demi menjalankan hak asasi manusia di atas tanah mereka untuk dengan bebas menegaskan kembali identitas mereka.
Presiden Republik Nauru sangat prihatin atas situasi yang terjadi di West Papua, termasuk pelanggaran HAM seperti yang ditekankan oleh hasil Komunike Pasific Island Forum (PIF) bahwa penting segera ada dialog dterbuka dan konstruktif dengan indonesia terkait isu ini.
PM Tonga menjelaskan lebih dekat ke negara kami, kami menyampaikan demi kesejahteraan rakyat Pasifik dan warga di propinsi Papua dan West Papua Indonesia. Saya berdiri disini dan berbicara tentang pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua yang dikuasai oleh Indoensia. Dalam tahun yang telah lewat ini, tidak ada yang tampaknya berubah di tempat itu. Saya dengan sengaja memaknai kata tampaknya karena hingga sekarang kita tetap belum dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di sana. Barangkali sesuatu yang sungguh-sungguh buruk. Tonga memiliki kepedulian sebagai tetangga terhadap kesejahteraan masyarakat asli Wast Papua. Seperti yang telah dinyatakan dalam keputusan para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik. Tonga mendukung sebuah desakan untuk dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan status dan kesejahteraan rakyat West Papua. Tonga juga mendesak Indonesia sebagai partner dialog dari forum entah secara birateral atau lewat mekanisme perserikatan bangsa-bangsa.
Terakhir Pernyataan dari Perwakilan Tetap Palau, untuk mengadvokasi satu resolusi terhadap persoalan di West Papua melalui dialog mendalam dan konstruktif.
Melalui delegatornya, Indonesia menggunakan hak jawab terkait pernyataan yang disampaikan PM Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang juga disuarakan oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait masalah Papua dan Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi Indonesia.
            Indonesia terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting ini, dimana para pemimpin bertemu disini untuk membahas implementasi awal Sustainable Development Goals SDGs” transformasi dari tindakan awal kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang paling berdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar Piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya. Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah. Situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat. Pernyataan bernuansa politik itu dirancang untuk mendukung kaum separatis di provinsi tersebut yang begitu bersemangat mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata. Jelas dengan pernyataan yang dibuat oleh negara-negara tersebut benar-benar melanggar tujuan dan maksud Piagam PBB dan melanggar Hukum Internasional  tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara, hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara yang menyalahgunakan PBB termasuk Sidang Umum ini.
Negara-negara ini sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan persoalan sosial di negara mereka. Negara-negara itu menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka sikap negara-negara ini meremehkan Piagam PBB, dan membahayakan kredibilitas Sidang Umum ini. Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi, Indonesia adalah anggota pendiri Dewan HAM PBB.
Indonesia telah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi anggota keempat kalinya. Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN dan Komisi Independen Permanen OIC, Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami dibanding dengan empat yaitu negara Kepualuan Solomon dan lima oleh negara Vanuatu. Indonesia ada di antara segelintir negara yang memiliki rencana aksi nasional HAM, dan saat ini generasi keempat dari rencana tersebut dari 2015 sampai 2019.
Indonesia memiliki Komnas HAM yang aktif sejak tahun 1993, masyarakat sipil yang aktif dan media yang bebas. Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya. dengan demokrasi yang begitu dinamis bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa. Kami menegaskan kembali bahwa ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia juga ditingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Indonesia akan terus memberikan fokus yang tepat pada pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua. sebagai kesimpulan,a da pepatah di kawasan Asia Pasifik “Ketika seseorang menunjukan jari telunjuknya pada yang orang lain, jari 3 jari yang lain secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri.

3.             Analisis Kegiatan PBB dengan Fakta Sejarah
Dengan pernyataan yang disampaikan PM Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang juga disuarakan oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait masalah Papua dan Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi Indonesia.
Indonesia terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting ini, dimana para pemimpin bertemu disini untuk membahas implementasi awal Sustainable Development Goals SDGs” transformasi dari tindakan awal kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang paling berdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar Piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya. Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah. Situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat.
Pernyataan bernuansa politik itu dirancang untuk mendukung kaum separatis di provinsi tersebut yang begitu bersemangat mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata. Hal ini serupa dengan sejarah kelam yang dirasakan pemerintahan Indonesia pada 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat wilayah Timor Leste berpisah dan menyatakan merdeka dari kedaulatan NKRI dibawah PBB United Nations Missions in East Timor (UNAMET) yang mengantarkan wilayah ini memasuki babak sejarah baru. Timor Timur, disingkat Timtim (sekarang Timor Leste), merupakan bekas wilayah jajahan Portugal, yang mana pada tahun 1974 Portugal mengakhiri 174 kedudukannya disana. Dua tahun setelahnya, Indonesia menginvasi Timtim dan dijadikan provinsi ke-27 negara tersebut. Populasi Timtim berjumlah sekitar 1.040.900 jiwa dengan mayoritas beragama Katolik. Timtim mendapat pengakuan internasional atas kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002, dua tahun setelah referendum dilakukan tahun 1999, dan setelah ±24 tahun menjadi bagian dari Indonesia.
Aktor-aktor yang secara jelas berkonflik dalam kasus ini adalah antara pemerintahan Indonesia dengan masyarakat Timtim yang menginginkan kemerdekaannya. Dua aktor tersebut dikelompokan sebagai aktor utama yang secara jelas dapat dilihat sedang berkonflik. Sedangkan aktor sekundernya (tidak langsung) adalah Australia yang awalnya berperan sebagai mediator tetapi ternyata dalam perjalannya, malah menjadi motor dan ikut-ikutan secara tidak langsung membantu pihak Timtim untuk mendapatkan kemerdekaannya (securitizing actor).
Securitizing actor adalah pihak yang berada di luar pihak yang berkonflik, akan tetapi menggunakan pengaruhnya untuk memprovokasi salah satu pihak yang berkonflik dan membuat konflik yang terjadi mengalami eskalasi. Dimana dalam konlik ini, Indonesia dituding membantai, rumah-rumah dan tempat produksi warga dihancurkan, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa bukti dan pastinya pelanggaran HAM berat.
Beberapa alasan umum munculnya konflik di Timtim adalah dampak dari menjamurnya jargon tentang demokrasi yang membuat masyarakat Timtim sadar akan diskriminasi dari Indonesia dan berusaha untuk lepas darinya. Selain itu, yang menjadi potensi konflik adalah dampak dari jawanisasi di daerah-daerah di luar Jawa. Jawanisasi inilah yang membuat penduduk asli Timtim serasa tersingkir dari daerahnya, terutama saat militer menguasai hampir seluruh aspek di Timtim. Tentara Indonesia pada awal-awal masa kedudukannya diindikasi melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia karena mengakibatkan tewasnya ±200.000 warga Timtim, pelanggaran-pelanggaran ini termasuk pembantaian penduduk secara acak, pembunuhan diluar hukum, penghancuran sumber-sumber makanan rakyat, meninggal karena penyakit, siksaan, pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, pemerkosaan dan pemenjaraan tanpa tuntutan hukum.
Timtim dijadikan provinsi ke-27 dari Republik Indonesia. Hal tersebut kontradiksi dengan masyarakat sparatis Timtim dan Australia. Selama kedudukannya, Indonesia berusaha menenangkan hati masyarakat Timtim, melalui pembangunan infrastruktur, sistem pendidikan yang baik, penggunaan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan lain-lain sehingga pembangunan di Timtim tumbuh lebih baik daripada pulau-pulau lain di timur Indonesia.
Ketika para pejuang kemerdekaan melanjutkan perjuangannya di dalam negeri, diluar negeri tiga kelompok utama LSM Internasional (East Timor Action Network/ENTAN), Gereja Katolik dan anggota FRETILIN yang hidup dalam pengasingan masih terus membawa isu kemerdekaan Timtim mendapat simpati dunia internasional, umumnya karena kedudukan ilega Indonesia tahun 1976 dan pelanggaran HAM yang mengarah genosida.
Pada tahun 1997 UDT dan FRETILIN bergabung untuk membentuk Council for Timorese National Resistance (CNRT), sebuah unit politik yang melanjutkan perjuangan mereka untuk mendapatkan kemerdekaan penuh dengan Xanana Gusmao sebagai presidennya. Mei 1998, terjadi perubahan politik yang drastis di Indonesia dengan runtuhnya rezim Soeharto. Pergantian rezim membuka pintu terjadinya negosiasi internasional antara Portuga, PBB dan Indonesia, untuk mengizinkan referendum dilakukan bagi masyarakat Timtim, apakan mereka memilih otonomi atau merdeka dari Indonesia.
NKRI harus menerima kenyataan untuk segera mengakhiri kekuasaanya ketika dalam jejak pendapat masyarakat Timor Leste memilih opsi untuk merdeka menjadi Republica Democratica Timor Leste (RDTL). Misi PBB pertama di Timtim masuk, dilanjutkan INTERFET (International Force for East Timor) yang dipimpin oleh Australia.
Setelah RDTL merdeka dari Indonesia, sejauh ini kemajuan telah dicapai di mana kedua Negara telah menandatangani persetujuan sementara atau Provisional Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary, (Persetujuan Sementara Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republica Democratica Timor Leste Mengenai Perbatasan Darat) mengenai perbatasan darat yang dilakukan pada 8 April 2005 dan ditandatangani oleh menteri luar negeri Timor Leste Jose Ramos Horta dan Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda. Dalam perkembangannya hingga tahun 2009 kesepakatan akhir dan menyeluruh tentang perbatasan yang meliputi wilayah darat dan laut belum tercapai, perjanjian sementara tersebut menyepakati 907 kordinat titik batas atau sekitar 96% dari panjang total garis batas darat. Sehingga hingga kini masih tersisa tiga titik yang belum diselesaikan demarkasinya. Ketiga titik inilah yang akan terus diupayakan oleh pemerintah Timor Leste dalam penetapan garis perbatasan.
Perjuangan rakyat Timor Leste untuk merdeka diperkuat dengan bantuan Australia sampai menuju kemerdekaan. Namun belakangan hubungan kedua negara yakni Timor Leste dan Australia menjadi buruk, karena hubungan kedua negara ditentukan oleh dua kepentingan yang sama yaitu kedaulatan territorial atau perbatasan dan sumber daya alam yang menjadi permasalahan dari kedua negara. Kedua hal ini bukan persoalan baru tapi merupakan kisah lama yang  berlanjut dan rumit karena berakar dari progres hukum internasional yang berubah. Australia merasa klaim atas teritorialnya “legitimate dengan Konvensi Genewa tentang Hukum Laut 1958, begitu pun Timor Leste merasa lebih berhak dengan konvensi PBB mengenai hukum laut UNCLOS 1982. Karena di dalam daerah yang disengketakan itu terdapat potensi ekonomi yang sangat signifikan bagi kedua negara, maka logika sehatnya memang mengharuskan mereka bertengkar.
Timor-Leste ditekan untuk menyetujui penyatuan Greater Sunrise dan membagi hasil dengan Australia. Bedasarkan penekanan ini dibuatlah suatu dokumen penyatuan yang dinamakan International Unistissation Agreement (IUA) dimana Timor Leste akan dipaksa untuk menyetujui diberikannya 79.9% dari produksi minyak di ladang Greater Sunrise kepada Australia dan Timor Leste hanya mendapatkan 20.1%. padahal garis batas equidistance ditarik maka kemungkinan bahwa semua hasil merupakan milik Timor Leste sangatlah besar.


4.             Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1.        Kesimpulan
Bedasarkan Kegiatan Indonesia dalam Forum PBB dengan analisis kegiatan yang dikaitkan dengan fakta sejarah. Jika dilihat permasalahan keduanya memiliki kesamaan, Indonesia difitnah telah  melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia karena mengakibatkan tewasnya ±200.000 warga Timtim, pelanggaran-pelanggaran ini termasuk pembantaian penduduk secara acak, pembunuhan diluar hukum, penghancuran sumber-sumber makanan rakyat, meninggal karena penyakit, siksaan, pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, pemerkosaan dan pemenjaraan tanpa tuntutan hukum. Timtim referendum bisa dikatakan mendapat bantuan dari Portugal, Australia dan PBB sebagai fasilitator, namun setelah Timtim merdeka Timor-Leste ditekan untuk menyetujui penyatuan Greater Sunrise dan membagi hasil dengan Australia. Bedasarkan penekanan ini dibuatlah suatu dokumen penyatuan yang dinamakan International Unistissation Agreement (IUA) dimana Timor Leste akan dipaksa untuk menyetujui diberikannya 79.9% dari produksi minyak di ladang Greater Sunrise kepada Australia dan Timor Leste hanya mendapatkan 20.1%. padahal garis batas equidistance ditarik maka kemungkinan bahwa semua hasil merupakan milik Timor Leste sangatlah besar.
Kemudian permasalahan baru-baru ini, enam negara dari Pasifik dalam forum PBB di New York pada 20-29 September 2016 mengangkat persoalan HAM di Papua dan Papua Barat. Mereka meminta perhatian negara-negara anggota PBB pada “self determinasi” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari HAM serta menyoroti “The Act Of Free Choice” tahun 1969. Indonesia dituding telah melanggar HAM berat yang mengakibatkan 500.000 orang Papua dan Papua Barat tewas dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir.
Jika ditarik isi dari pernyataan negara-negara Pasifik, mereka menginginkan Papua dan Papua Barat referendum yang bertujuan akan memberikan keadilan, transparan dan menenangkan dengan PBB sebagai fasilitator. Serta Malanesian Spearhead Grup (MSG) bersiap mengadvokasi satu resolusi terhadap persoalan di Papua dan West Papua melalui dialog mendalam dan konstruktif.
4.2.        Rekomendasi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi PBB dipandu oleh tujuan dan prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.
Forum Majelis PBB salah satu bentuk mengekspresikan pandangan  dengan dialog antar anggotanya dan dengan hosting negosiasi, Organisasi telah menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk menemukan bidang perjanjian dan memecahkan masalah bersama-sama. Bukan dengan membantu organisasi sparatis untuk mengintervensi kedaulatan dan melanggar integritas teritorial sesama anggota PBB, jangan hanya mengatas namakan HAM tetapi tidak paham akan sejarah dan perkembangan situasi yang terjadi pada apa yang diperjuangkan. Kembalilah pada tujuan dan fungsi dari mendirikan PBB karena dapat membahayakan kredibilitas forum-forum yang disediakan.
Jika kita kilas balik hal ini serupa dengan kejadian referendum Timtim, yang dimana tadinya menjadi “PAHLAWAN” setelah memerdekakan menjadi “PENJAJAH”.  Padahal Sidang umum diselenggaran pada 20-29 September di New York bertujuan membahas implementasi awal Sustainable Development Golas SDGs” transformasi dari tindakan awal kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim. Apa mungkin hal pernyataan HAM hanya sebagai pengalihan perhatian dari persoalan politik dan persoalan sosial di negara mereka. Tentu dugaan kita tidak hanya sampai disitu Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga  wilayahnya berdekatan dengan Papua dan Papua Barat apa mungkin SDA dan SDMineral mau dikuasai, menggunakan cara yang sama seperti Australia. Atau mereka hanya menjadi alat pemilik hak Veto PBB (Amerika) untuk lebih menguasai sumber daya Papua dan Papua Barat, bahkan hal yang patut kita duga PBB mempunyai rencana menghancurkan NKRI dengan melepaskan satu-persatu wilayah kedaulatan terluar Indonesia.
Dengan kejadian ini masyarakat Indonesia khususnya pemuda dan pemudi Indonesia belajarlah, renungkan dan resapi akan perjuangan para Pendiri Bangsa. Cinta tanah air adalah salah satu dari hal yang alami bagi manusia. Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka tumbuh di dalamnya. Biasanya, manusia menginginkan tempatnya lahir dan tumbuh itu menjadi tempatnya menua dan menghabiskan hidupnya. Oleh sebab itu, tidak aneh jika manusia mencintai negaranya setengah mati.
Indonesia negeri para pejuang, tidak akan habis stok pasukan pejuang untuk mempertahankan NKRI. Tetapi untuk menjadi pasukan pejuang perlu memenuhi berbagai kekuatan seperti kekuatan fisik, kekuatan akal atau pikiran, kekuatan moral atau prilaku mulia dan kekuatan harta atau ekonomi. Dengan cara tersebut Indonesia akan disegani oleh bangsa-bangsa lain termasuk Amerika dan sekutunya.
Dan ingatlah ketika orang-orang lain memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baiknya pembalasan tipu daya.


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
M. Shoelhi, 2009, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Agus, Fadillah, dkk, 2008, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor Timur, Jakarta : Elsam.
Robertson, Geoffrey, 2002, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta : Komnas HAM.

Website:
West Papua Updates, Full Video: Masalah Papua di PBB (The Question of West Papua at United Nations. Diunduh dari https://www.youtube.com/watch?v=16-zBTz06G4 . Diakses pada 20 Oktober 2017
Malik, Ichsan, Analisis & Perspektif Resolusi Konflik. Diunduh dari http://www.titiandamai.or.id/konten.php?nama=Sumber&op=detail_sumber&id10. Diakses pada 15 Oktober 2017.
Ninov, Irfan, 2011. Kepentingan Australia di Timor Leste. Diunduh dari http://repository.upnyk.ac.id/1343./. diakses pada 15 Oktober 2017.
Indrawan, Jerry, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Timor Timur sebelum Kemerdekaanya dari Indonesia. Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/97501-ID-analisis-faktor-faktor-penyebab-terjadin.pdf. diakses pada 15 Oktober 2017.
FatimaAlvesCorreia, de Raimundo, Upaya Timor Leste Dalam Menyelesaikan Batas Wilayah Laut Dengan Australia. Diunduh dari http://repository.upnyk.ac.id/1405/1/RESUME_SKRIPSI.pdf. diakses pada 15 Oktober 2017.

Tidak ada komentar

Posting Komentar