1.
Latar
Belakang
Komunikasi
internasional adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah atau
negara dengan pemerintah atau negara lain melalui saluran diplomatik. Jalur
diplomatik lebih kerap ditempuh melalui komunikasi langsung antara pejabat
tinggi negara (menteri luar negeri, duta besar, konsul jendral atau staf
diplomatik lainnya). (M. Shoelhi, 2009: 31).
Diplomasi
lazimnya dilakukan secara ekslusif dalam komunikasi kelompok kecil antarpejabat
tinggi negara atau melalui perwakilan diplomatik dan konsuler masing-masing
negara atau melalui mekanisme komunikasi PBB serta organisasi internasional
seperti ASEAN, Uni Eropa APEC, OIC, WTO, OEDC, UNECSO dan sebagainya. Diplomasi
merupakan kajian keilmuan dari Hubungan Internasional digunakan sebagai salah
satu inisiatif mempromosikan negara, meningkatkan eksistensi, atau menyebarkan
pengaruh ke negara lain untuk meraih kepentingan nasional bagi masing-masing
negara. Diplomasi adalah salah satu alat utama yang digunakan negara dalam pelaksanaan
politik luar negeri dan pencapaian kepentingan nasional yang kemudian bisa
menjadi nilai tawar atau state branding
sebuah negara sehingga juga dapat membangun citra atau image dari sebuah negara.
Politik
luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negara. Fungsi
utama diplomasi adalah melindungi dan memajukan kepentingan nasional. Untuk
itu, setiap bangsa harus menentukan sendiri sikapnya terhadap bangsa lain dan
juga harus menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan
internasional. Menurut Sumaryo Suryokusumo, Diplomasi adalah kegiatan politik
dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan
kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk
mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ
lainnya.
Salah satu pelaku dalam pelaksanaan
diplomasi adalah diplomat. Fungsi utama diplomat adalah mewakili negara
pengirim di negara penerima, dalam organisasi-organisai dan forum-forum
internasional. Para diplomat dengan menggunakan daya tarik dan keahliannya
dalam melakukan advokasi guna mempengaruhi para pengambil keputusan di negara
penerima dan terhadap diplomat lainnya sehingga pendekatan dapat dicapai guna
membantu peningkatan hubungan antarnegara pengirim dan negara penerima.
Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun
1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi PBB dipandu oleh tujuan dan
prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.
Kekuasaan
berada di tangan aturan bersama dan karakter internasional yang unik, PBB dapat
mengambil tindakan pada isu-isu yang dihadapi umat manusia di abad ke-21,
seperti perdamaian dan keamanan, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan,
hak asasi manusia, perlucutan senjata, terorisme, kemanusiaan dan keadaan
darurat kesehatan, kesetaraan gender, tata kelola, produksi pangan, dan banyak
lagi.
PBB
juga menyediakan forum bagi para anggotanya untuk mengekspresikan pandangan
mereka di Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, dan
badan-badan lainnya dan komite. Dengan mengaktifkan dialog antara anggotanya,
dan dengan hosting negosiasi,
Organisasi telah menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk menemukan bidang
perjanjian dan memecahkan masalah bersama-sama. Kepala Administrasi Petugas PBB
adalah Sekretaris-Jenderal.
Hak
asasi manusia internasional di tetapkan dan dikembangkan melalui kerjasama
multilateral di PBB, Dewan Eropa dan organisasi internasional lainnya.
Organisasi-organisasi tersebut dibentuk melalui berbagai konvensi hak asasi
manusia, bersama mekanisme pemantauan internasional yang penting dan merupakan
tambahan kegiatan pelaksanaan yang dilakukan di tingkat nasional.
Pengaturan
dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia dilandasi adanya pemahaman dan
kesadaran bangsa Indonesia bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan dianugerahi hak
asasi untuk dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangan bagi kesejahteraan
hidup manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia
sebagai makhluk Tuhan, bersifat kodrati dan universal, berkaitan dengan harkat
dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi
yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warga kulit, kebangsaan, agama, usia,
pandangan politik, status sosial, bahasa, dan status lain.
Hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia (dan hak warga negara) pertama-tama
diatur dalam hukum tertinggi berupa Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan Hak
Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, mengenai persamaan dalam hukum
dan pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,
kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, berhak ikut serta
dalam usaha pembelaan negara, berhak mendapat pengajaran, berhak memajukan
kebudayaan, berhak atas kemakmuran, serta fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara.
Komunikasi
internasional dalam perspektif diplomatik merupakan kegiatan atau upaya untuk
membina rasa saling percaya atau memperteguh keyakinan terhadap suatu gagasan.
Dengan menggunakan saluran-saluran diplomatik, komunikasi internasional lebih
banyak digunakan untuk memperluas pengaruh, meningkatkan komitmen dan
solidaritas, menanggulangi perbedaan pendapat dan salah paham, serta
menghindari pertentangan dalam masalah tujuan dan kepentingan yang dikehendaki
sebuah negara. Selain untuk menghindari konflik, tujuan komunikasi
internasional sering digunakan untuk mengembangkan kerja sama baik dalam
hubungan bilateral maupun multilateral, memperkuat posisi tawar (bargaining position) serta meningkatkan
citra dan reputasi suatu negara. Tetapi hal tersebut tidak dirasakan Indonesia
yang merupakan anggota PBB sejak 1950. Indonesia kerap difitnah dan dituding
berbagai melakukan kejahatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Jika
kita kilas balik pada berbagai kasus yang merugikan Indonesia, pertama wilayah
Timor Leste memilih berpisah dan menyatakan merdeka dibawah pemerintahan
sementara yang dijalankan PBB United
Nations Transition in East Timor (UNTAET), kedua kasus Ambalat dan beberapa
pulau lainnya yang dilahap oleh negara tetangga, ketiga kasus OPM, GAM dan RMS
yang dimana organisasi-organisasi tersebut mendapat perlindungan secara khusus
dari pihak Amerika dan sekutunya yang memiliki hal veto dengan mengatasnamakan
HAM, padahal jelas organisasi tersebut bermaksud mempecah-belah dan memisahkan
diri dari NKRI.
Enam
negara dari Pasifik mengangkat persoalan HAM di Papua dan Papua Barat. Mereka
juga meminta perhatian negara-negara anggota PBB pada “self determinasi” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari HAM
serta menyoroti “The Act Of Free Choice”
tahun 1969. Indonesia dituding
telah melanggar HAM yang mengakibatkan 500.000 orang Papua dan Papua Barat tewas dalam kurun waktu lima puluh tahun
terakhir dalam forum PBB di New York pada 20-29 September 2016.
2.
Kegiatan Forum PBB
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keragaman etnis, suku, ras, dan agama adapun agama yang diakui
oleh negara adalah Islam,
Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Kong hu chu. Islam merupakan agama mayoritas, ada sekitar
delapan puluh tujuh persen muslim di berbagai suku.
Di dalam Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 warga negara Indonesia berhak mendapatkan persamaan dalam hukum dan
pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,
kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, berhak ikut serta
dalam usaha pembelaan negara, berhak mendapat pengajaran, berhak memajukan
kebudayaan, berhak atas kemakmuran, serta fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.
Dalam sidang Majelis Umum PBB di New
York pada 20-29 September 2016 yang lalu, Indonesia dituding telah melanggar
HAM. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sovagare, Presiden
Republik Kepulauan Marshall, Hilde Heine, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene
Sopoaga, Perdana Menteri Republik Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas,
Perwakilan Tetap Palau, Caleb Otto dan Presiden Republik Nauru, Baron Divavesi
Waqa.
Presiden Republik Kepulauan Marshall, Hilde Heine mengatakan Pentingnya HAM
bagi negaranya, dirinya meminta Dewan HAM PBB memulai penyelidikan yang
kredibel dan independen terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua
Barat. Perdana Menteri Kepulauan
Solomon mengatakan prihatin
atas pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat, provinsi di Indonesia sebagai
Ketua Malanesian Spearhead Group
(MSG) termasuk Indonesia sebagai Associate
Member dan United Liberation movement of West Papua.
Kepulauan Solomon
menegaskan akan adanya kebutuhan akan keterlibatan untuk mengatasi pelanggaran
HAM di West Papua konstruktif dengan Indonesia dan berharap bisa bekerja sama
dengan Indonesia.
Kemudian Perdana Menteri Tuvalu mengatakan dengan
tegas PBB yang besar ini tidak dapat dan tidak bisa terus menerus diabaikan
badan ini harus memperhitungkan dan tidak boleh bersembunyi di balik topeng dan
kedaulatan sebagai alat untuk tidak bertindak. PBB harus bertindak terkait isu
ini dan mencari solusi yang bisa dikerjakan untuk memberi otonomi bagi
masyarakat asli West Papua.
PM
Republik Vanuatu berseru menjelaskan dan mengatakan Dekolonisasi masih menjadi
masalah besar yang membutuhkan upaya bersama. Dalam rangka mewujudkan hak
menentukan nasib sendiri. Sebagai suatu klenyataan seperti yang telah
dimandatkan Piagam PBB. Kita harus tunjukan solidaritas dan komitmen kita untuk
menghapuskan kolonialisme dalam segala bentuknya. Referendum yang akan segera
dilaksanakan memberikan hasil yang adil, transparan dan menenangkan. Oleh
karena itu rakyat Kaledonia diharapkan dapat memilih dengan bebas masa depan
dan nasibnya sendiri. Persoalan HAM adalah agenda tertinggi PBB. Untuk mendesak
kata-kata ini menjadi tindakan nyata. Masalah HAM di West Papua masih belum
teratasi. Saya ingin sekali lagi menegaskan di sini seperti para pendahulu
saya, untuk mendesak PBB mengambil tindakan kongkrit untuk persoalan ini.
Seperti kolega saya sudah katakan untuk mendukung advokasi West Papua. PBB
hendaknya tidak menutup mata pada kasus-kasus pelanggaran HAM di West Papua.
Rakyat di sana sudah meminta dukungan PBB dan mencari terang pengharapan sebuah
harapan untuk kebebasan demi menjalankan hak asasi manusia di atas tanah mereka
untuk dengan bebas menegaskan kembali identitas mereka.
Presiden
Republik Nauru sangat prihatin atas situasi yang terjadi di West Papua,
termasuk pelanggaran HAM seperti yang ditekankan oleh hasil Komunike Pasific
Island Forum (PIF) bahwa penting segera ada dialog dterbuka dan konstruktif
dengan indonesia terkait isu ini.
PM
Tonga menjelaskan lebih dekat ke negara kami, kami menyampaikan demi
kesejahteraan rakyat Pasifik dan warga di propinsi Papua dan West Papua
Indonesia. Saya berdiri disini dan berbicara tentang pelanggaran HAM yang
terjadi di West Papua yang dikuasai oleh Indoensia. Dalam tahun yang telah
lewat ini, tidak ada yang tampaknya berubah di tempat itu. Saya dengan sengaja
memaknai kata “tampaknya” karena hingga sekarang kita
tetap belum dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di sana. Barangkali
sesuatu yang sungguh-sungguh buruk. Tonga memiliki kepedulian sebagai tetangga
terhadap kesejahteraan masyarakat asli Wast Papua. Seperti yang telah dinyatakan
dalam keputusan para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik. Tonga mendukung sebuah
desakan untuk dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait
dengan status dan kesejahteraan rakyat West Papua. Tonga juga mendesak Indonesia sebagai partner dialog dari forum entah secara
birateral atau lewat mekanisme perserikatan bangsa-bangsa.
Terakhir
Pernyataan dari Perwakilan Tetap Palau, untuk mengadvokasi satu resolusi
terhadap persoalan di West Papua melalui dialog mendalam dan konstruktif.
Melalui
delegatornya, Indonesia menggunakan
hak jawab terkait pernyataan yang disampaikan PM Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang juga disuarakan oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait masalah Papua dan Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi Indonesia.
Indonesia
terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting ini, dimana para pemimpin bertemu disini
untuk membahas implementasi awal Sustainable Development Goals “SDGs” transformasi dari tindakan awal kita dan tantangan global lainnya
seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang paling berdampak. Para
pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar Piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain
dan melanggar integritas teritorialnya. Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka
terhadap sejarah. Situasi
saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat. Pernyataan bernuansa politik itu dirancang untuk
mendukung kaum separatis di provinsi tersebut yang begitu bersemangat
mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata. Jelas dengan pernyataan yang dibuat
oleh negara-negara tersebut benar-benar melanggar tujuan dan maksud Piagam PBB dan melanggar Hukum Internasional tentang relasi
persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara, hal itu
sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara yang menyalahgunakan PBB termasuk Sidang Umum ini.
Negara-negara
ini sudah menggunakan Majelis
Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik
mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan
politik dan persoalan sosial di negara mereka. Negara-negara itu menggunakan informasi yang
salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka sikap negara-negara
ini meremehkan Piagam PBB, dan
membahayakan kredibilitas Sidang Umum ini.
Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi,
Indonesia adalah anggota
pendiri Dewan HAM PBB.
Indonesia
telah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi
anggota keempat kalinya. Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN dan Komisi Independen
Permanen OIC, Indonesia sudah meratifikasi delapan dari
sembilan instrumen utama HAM semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami dibanding dengan
empat yaitu negara Kepualuan Solomon dan lima oleh negara Vanuatu. Indonesia ada di antara
segelintir negara yang memiliki rencana aksi nasional HAM, dan saat ini generasi keempat dari
rencana tersebut dari 2015 sampai 2019.
Indonesia
memiliki Komnas HAM yang aktif sejak tahun 1993, masyarakat
sipil yang aktif dan media yang bebas. Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang
dewasa di dalam fungsi-fungsinya. dengan demokrasi yang begitu dinamis
bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir-hampir
mustahil pelanggaran HAM
terjadi tanpa diketahui dan diperiksa. Kami menegaskan kembali bahwa ada mekanisme domestik
di tingkat nasional di Indonesia
juga ditingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Indonesia akan terus memberikan fokus yang tepat
pada pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik
bagi semua. sebagai kesimpulan,a da pepatah di kawasan Asia Pasifik “Ketika
seseorang menunjukan jari telunjuknya pada yang orang lain, jari 3 jari yang lain secara otomatis menunjuk pada
wajahnya sendiri”.
3.
Analisis Kegiatan PBB dengan Fakta Sejarah
Dengan pernyataan yang disampaikan PM Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang juga disuarakan oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait masalah Papua dan Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi Indonesia.
Indonesia
terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting ini, dimana para pemimpin bertemu disini
untuk membahas implementasi awal Sustainable Development Goals “SDGs” transformasi dari tindakan awal kita dan tantangan global lainnya
seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang paling berdampak. Para
pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar Piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain
dan melanggar integritas teritorialnya. Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka
terhadap sejarah. Situasi
saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat.
Pernyataan
bernuansa politik itu dirancang untuk mendukung kaum separatis di provinsi
tersebut yang begitu bersemangat mengganggu ketertiban umum dan melakukan
serangan teroris bersenjata. Hal ini serupa dengan sejarah kelam yang
dirasakan pemerintahan Indonesia pada 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat
wilayah Timor Leste berpisah dan menyatakan merdeka dari kedaulatan NKRI
dibawah PBB United Nations Missions in East Timor (UNAMET)
yang mengantarkan wilayah ini memasuki babak sejarah baru. Timor
Timur, disingkat Timtim (sekarang
Timor Leste), merupakan bekas wilayah
jajahan Portugal, yang mana pada tahun 1974 Portugal mengakhiri 174
kedudukannya disana. Dua tahun setelahnya, Indonesia menginvasi Timtim dan
dijadikan provinsi ke-27 negara tersebut. Populasi Timtim berjumlah sekitar
1.040.900 jiwa dengan mayoritas beragama Katolik. Timtim mendapat pengakuan
internasional atas kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002, dua tahun setelah
referendum dilakukan tahun 1999, dan setelah ±24 tahun menjadi bagian dari
Indonesia.
Aktor-aktor yang secara jelas berkonflik dalam kasus ini
adalah antara pemerintahan Indonesia dengan masyarakat Timtim yang menginginkan
kemerdekaannya. Dua aktor tersebut dikelompokan sebagai aktor utama yang secara
jelas dapat dilihat sedang berkonflik. Sedangkan aktor sekundernya (tidak langsung)
adalah Australia yang awalnya berperan sebagai mediator tetapi ternyata dalam
perjalannya, malah menjadi motor dan ikut-ikutan secara tidak langsung membantu
pihak Timtim untuk mendapatkan kemerdekaannya (securitizing actor).
Securitizing actor adalah pihak yang
berada di luar pihak yang berkonflik, akan tetapi menggunakan pengaruhnya untuk
memprovokasi salah satu pihak yang berkonflik dan membuat konflik yang terjadi
mengalami eskalasi. Dimana dalam konlik ini, Indonesia dituding membantai, rumah-rumah
dan tempat produksi warga dihancurkan, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa bukti dan
pastinya pelanggaran HAM berat.
Beberapa alasan umum munculnya konflik di Timtim adalah
dampak dari menjamurnya jargon tentang demokrasi yang membuat masyarakat Timtim
sadar akan diskriminasi dari Indonesia dan berusaha untuk lepas darinya. Selain
itu, yang menjadi potensi konflik adalah dampak dari jawanisasi di
daerah-daerah di luar Jawa. Jawanisasi inilah yang membuat penduduk asli Timtim
serasa tersingkir dari daerahnya, terutama saat militer menguasai hampir
seluruh aspek di Timtim. Tentara Indonesia pada awal-awal masa kedudukannya
diindikasi melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia karena mengakibatkan
tewasnya ±200.000 warga Timtim, pelanggaran-pelanggaran ini termasuk pembantaian
penduduk secara acak, pembunuhan diluar hukum, penghancuran sumber-sumber
makanan rakyat, meninggal karena penyakit, siksaan, pemaksaan untuk
meninggalkan tempat tinggal, pemerkosaan dan pemenjaraan tanpa tuntutan hukum.
Timtim dijadikan provinsi ke-27 dari Republik Indonesia. Hal
tersebut kontradiksi dengan masyarakat sparatis Timtim dan Australia. Selama
kedudukannya, Indonesia berusaha menenangkan hati masyarakat Timtim, melalui
pembangunan infrastruktur, sistem pendidikan yang baik, penggunaan bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah dan lain-lain sehingga pembangunan di Timtim
tumbuh lebih baik daripada pulau-pulau lain di timur Indonesia.
Ketika para pejuang kemerdekaan melanjutkan perjuangannya di
dalam negeri, diluar negeri tiga kelompok utama LSM Internasional (East Timor
Action Network/ENTAN), Gereja Katolik dan anggota FRETILIN yang hidup dalam
pengasingan masih terus membawa isu kemerdekaan Timtim mendapat simpati dunia
internasional, umumnya karena kedudukan ilega Indonesia tahun 1976 dan
pelanggaran HAM yang mengarah genosida.
Pada tahun 1997 UDT dan FRETILIN bergabung untuk membentuk
Council for Timorese National Resistance (CNRT), sebuah unit politik yang
melanjutkan perjuangan mereka untuk mendapatkan kemerdekaan penuh dengan Xanana
Gusmao sebagai presidennya. Mei 1998, terjadi perubahan politik yang drastis di
Indonesia dengan runtuhnya rezim Soeharto. Pergantian rezim membuka pintu
terjadinya negosiasi internasional antara Portuga, PBB dan Indonesia, untuk
mengizinkan referendum dilakukan bagi masyarakat Timtim, apakan mereka memilih
otonomi atau merdeka dari Indonesia.
NKRI harus menerima kenyataan untuk segera mengakhiri
kekuasaanya ketika dalam jejak pendapat masyarakat Timor Leste memilih opsi
untuk merdeka menjadi Republica Democratica Timor Leste (RDTL). Misi
PBB pertama di Timtim masuk, dilanjutkan INTERFET (International Force for East Timor) yang dipimpin oleh Australia.
Setelah
RDTL merdeka dari Indonesia, sejauh ini kemajuan telah dicapai di mana
kedua Negara telah menandatangani persetujuan sementara atau Provisional Agreement Between the Government
of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of
Timor Leste on the Land Boundary, (Persetujuan Sementara Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republica Democratica Timor Leste Mengenai
Perbatasan Darat) mengenai perbatasan darat yang dilakukan pada 8 April 2005
dan ditandatangani oleh menteri luar negeri Timor Leste Jose Ramos Horta dan
Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda.
Dalam perkembangannya hingga tahun 2009 kesepakatan akhir dan menyeluruh
tentang perbatasan yang meliputi wilayah darat dan laut belum tercapai,
perjanjian sementara tersebut menyepakati 907 kordinat titik batas atau sekitar
96% dari panjang total garis batas darat. Sehingga hingga kini masih tersisa
tiga titik yang belum diselesaikan demarkasinya. Ketiga titik inilah yang akan
terus diupayakan oleh pemerintah Timor Leste dalam penetapan garis perbatasan.
Perjuangan
rakyat Timor Leste untuk merdeka diperkuat dengan bantuan Australia sampai menuju
kemerdekaan. Namun belakangan hubungan kedua negara yakni Timor Leste dan Australia
menjadi buruk, karena hubungan kedua negara ditentukan oleh dua kepentingan
yang sama yaitu kedaulatan territorial atau perbatasan dan sumber daya alam
yang menjadi permasalahan dari kedua negara. Kedua hal ini bukan persoalan baru
tapi merupakan kisah lama yang berlanjut
dan rumit karena berakar dari progres hukum internasional yang berubah.
Australia merasa klaim
atas teritorialnya “legitimate” dengan Konvensi
Genewa tentang Hukum Laut 1958, begitu pun Timor Leste merasa
lebih berhak dengan konvensi PBB mengenai hukum laut UNCLOS 1982. Karena di
dalam daerah yang disengketakan itu terdapat potensi ekonomi yang sangat signifikan
bagi kedua negara, maka logika sehatnya memang mengharuskan mereka bertengkar.
Timor-Leste
ditekan untuk menyetujui penyatuan Greater Sunrise dan membagi hasil dengan
Australia. Bedasarkan penekanan ini dibuatlah suatu dokumen penyatuan yang
dinamakan International Unistissation
Agreement (IUA) dimana Timor Leste akan dipaksa untuk menyetujui
diberikannya 79.9% dari produksi minyak di ladang Greater Sunrise kepada
Australia dan Timor Leste hanya mendapatkan 20.1%. padahal garis batas
equidistance ditarik maka kemungkinan bahwa semua hasil merupakan milik Timor
Leste sangatlah besar.
4.
Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1.
Kesimpulan
Bedasarkan Kegiatan Indonesia dalam Forum PBB dengan analisis
kegiatan yang dikaitkan dengan fakta sejarah. Jika dilihat permasalahan
keduanya memiliki kesamaan, Indonesia difitnah telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia
karena mengakibatkan tewasnya ±200.000 warga Timtim, pelanggaran-pelanggaran ini
termasuk pembantaian penduduk secara acak, pembunuhan diluar hukum,
penghancuran sumber-sumber makanan rakyat, meninggal karena penyakit, siksaan,
pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, pemerkosaan dan pemenjaraan tanpa
tuntutan hukum. Timtim referendum bisa dikatakan mendapat bantuan dari
Portugal, Australia dan PBB sebagai fasilitator, namun setelah Timtim merdeka Timor-Leste
ditekan untuk menyetujui penyatuan Greater Sunrise dan membagi hasil dengan
Australia. Bedasarkan penekanan ini dibuatlah suatu dokumen penyatuan yang
dinamakan International Unistissation
Agreement (IUA) dimana Timor Leste akan dipaksa untuk menyetujui
diberikannya 79.9% dari produksi minyak di ladang Greater Sunrise kepada
Australia dan Timor Leste hanya mendapatkan 20.1%. padahal garis batas equidistance ditarik maka kemungkinan
bahwa semua hasil merupakan milik Timor Leste sangatlah besar.
Kemudian permasalahan baru-baru ini, enam negara dari Pasifik
dalam forum PBB di New York
pada 20-29 September 2016 mengangkat persoalan
HAM di Papua dan Papua Barat. Mereka meminta perhatian negara-negara anggota
PBB pada “self determinasi” sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari HAM serta menyoroti “The Act Of Free Choice” tahun 1969. Indonesia dituding telah melanggar
HAM berat yang
mengakibatkan 500.000 orang Papua dan Papua Barat tewas dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir.
Jika ditarik isi dari pernyataan negara-negara Pasifik,
mereka menginginkan Papua dan Papua Barat referendum yang bertujuan akan
memberikan keadilan, transparan dan menenangkan dengan PBB sebagai fasilitator.
Serta Malanesian Spearhead Grup (MSG) bersiap mengadvokasi satu resolusi
terhadap persoalan di Papua dan West Papua melalui dialog mendalam dan
konstruktif.
4.2.
Rekomendasi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional
yang didirikan pada tahun 1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi
PBB dipandu oleh tujuan dan prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.
Forum Majelis PBB salah satu bentuk mengekspresikan
pandangan dengan dialog antar anggotanya
dan dengan hosting negosiasi, Organisasi telah menjadi mekanisme bagi
pemerintah untuk menemukan bidang perjanjian dan memecahkan masalah
bersama-sama. Bukan dengan membantu organisasi sparatis untuk mengintervensi
kedaulatan dan melanggar integritas teritorial sesama anggota PBB, jangan hanya
mengatas namakan HAM tetapi tidak paham akan sejarah dan perkembangan situasi
yang terjadi pada apa yang diperjuangkan. Kembalilah pada tujuan dan fungsi
dari mendirikan PBB karena dapat membahayakan kredibilitas forum-forum yang disediakan.
Jika kita kilas balik hal ini serupa dengan kejadian
referendum Timtim, yang dimana tadinya menjadi “PAHLAWAN” setelah memerdekakan
menjadi “PENJAJAH”. Padahal Sidang umum
diselenggaran pada 20-29 September di New York bertujuan membahas implementasi awal Sustainable
Development Golas “SDGs” transformasi dari tindakan awal
kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim. Apa mungkin
hal pernyataan HAM hanya sebagai pengalihan perhatian dari persoalan politik
dan persoalan sosial di negara mereka. Tentu dugaan kita tidak hanya sampai
disitu Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall,
Tuvalu dan Tonga wilayahnya berdekatan dengan Papua dan Papua
Barat apa mungkin SDA dan SDMineral mau dikuasai, menggunakan cara yang sama
seperti Australia. Atau mereka hanya menjadi alat pemilik hak Veto PBB
(Amerika) untuk lebih menguasai sumber daya Papua dan Papua Barat, bahkan hal
yang patut kita duga PBB mempunyai rencana menghancurkan NKRI dengan melepaskan
satu-persatu wilayah kedaulatan terluar Indonesia.
Dengan kejadian ini masyarakat Indonesia khususnya pemuda dan
pemudi Indonesia belajarlah, renungkan dan resapi akan perjuangan para Pendiri
Bangsa. Cinta tanah air adalah salah satu dari hal yang alami bagi manusia.
Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka tumbuh di dalamnya.
Biasanya, manusia menginginkan tempatnya lahir dan tumbuh itu menjadi tempatnya
menua dan menghabiskan hidupnya. Oleh sebab itu, tidak aneh jika manusia
mencintai negaranya setengah mati.
Indonesia negeri para pejuang, tidak akan habis stok pasukan
pejuang untuk mempertahankan NKRI. Tetapi untuk menjadi pasukan pejuang perlu
memenuhi berbagai kekuatan seperti kekuatan fisik, kekuatan akal atau pikiran,
kekuatan moral atau prilaku mulia dan kekuatan harta atau ekonomi. Dengan cara
tersebut Indonesia akan disegani oleh bangsa-bangsa lain termasuk Amerika dan
sekutunya.
Dan ingatlah ketika orang-orang lain memikirkan daya upaya
terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu.
Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baiknya pembalasan tipu daya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
M. Shoelhi, 2009, Komunikasi
Internasional Perspektif Jurnalistik, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Agus, Fadillah, dkk, 2008, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM
Kasus Timor Timur, Jakarta : Elsam.
Robertson,
Geoffrey, 2002, Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta : Komnas
HAM.
Website:
West Papua Updates, Full Video: Masalah Papua di PBB (The Question of
West Papua at United Nations. Diunduh dari https://www.youtube.com/watch?v=16-zBTz06G4
. Diakses pada 20 Oktober 2017
Malik, Ichsan, Analisis &
Perspektif Resolusi Konflik. Diunduh dari http://www.titiandamai.or.id/konten.php?nama=Sumber&op=detail_sumber&id10.
Diakses pada 15 Oktober 2017.
Ninov, Irfan, 2011. Kepentingan
Australia di Timor Leste. Diunduh dari http://repository.upnyk.ac.id/1343./.
diakses pada 15 Oktober 2017.
Indrawan, Jerry, Analisis
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Timor Timur sebelum Kemerdekaanya
dari Indonesia. Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/97501-ID-analisis-faktor-faktor-penyebab-terjadin.pdf.
diakses pada 15 Oktober 2017.
FatimaAlvesCorreia, de Raimundo, Upaya
Timor Leste Dalam Menyelesaikan Batas Wilayah Laut Dengan Australia.
Diunduh dari http://repository.upnyk.ac.id/1405/1/RESUME_SKRIPSI.pdf.
diakses pada 15 Oktober 2017.
Tidak ada komentar
Posting Komentar